by FARIDA NURUL AINI S. Pd. I
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasang surut perjalanan
pemikiran Islam memang tidak akan pernah lepas dari interaksi akumulasi dengan
peradaban-peradaban di sekitar perkembangan Islam. Perkembangan pemikiran lebih
dijiwai oleh semangat normatif dan historis. Normatif karena perkembangan
pemikiran dijiwai oleh ajaran dasar sumbernya Al-quran dan Hadis. Historis
karena wujud respons terhadap berbagai persoalan hidup umat Islam di berbagai
bidang kehidupan.
Penelusuran pengalaman historis masa lampau menemukan bahwa persoalan
kalam di dunia Islam muncul dari suasana perbedaan politik. Setiap persoalan
kalam muncul, lahir pula beberapa pendapat dan paham saling berbeda, yang serta
merta membentuk aliran kalam. Muncul dari suasana perbedaan, ilmu kalam nampaknya
terus berkembang dinamis di dalam arus perbedaan berkesinambungan.
Sejak perkembangannya yang mula-mula, perbedaan persepsi bahkan
pertentangan paham dalam ilmu kalam sudah biasa terjadi, dan tampaknya akan
tetap selalu terjadi didalam dinamika pemikiran Islam. Ini merupakan suatu
fenomena ilmiah yang wajar, sesuai dengan hakikat perkembangan umat manusia itu
sendiri, yang secara fitri cenderung berbeda. Sehingga dunia kalam kaya dengan
berbagai aliran dan corak pemikiran.
Aliran-aliran ini seakan terlahir dalam lingkaran dialektika, yang
muncul dari proses tesa, antitesa, dan sintesa, atau bergerak secara alami
dalam dinamika aksi, reaksi, dan kompromi. Seperti terlihat, aksi Khawarij
mengundang reaksi Murji’ah dan lahir upaya kompromi atau jalan tengah
Muktazilah, lalu mengundang reaksi Asy’ariyah dan akhirnya melahirkan upaya
kompromi Maturidiyah.
Pada makalah ini kami menyajikan materi mengenai Aliran Maturidiyah dan
perkembangannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang Maturidiyah?
2. Siapa tokoh
Maturidiyah?
3. Bagaimana kondisi masyarakat
pada masa al-Maturidi
dan setelah wafatnya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui latar
belakang Maturidiyah.
2. Untuk mengetahui tokoh
Maturidiyah.
3. Untuk mengetahui kondisi
masyarakat pada masa al-maturidi dan setelah wafatnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Aliran Maturidiyah
Berdasarkan
pengamatan terhadap beberapa hasil karya al-Maturidi serta situasi dan kondisi
masyarakat pada masanya, maka dapat dikemukakan faktor-faktor yang melatar belakangi munculnya pemikiran teologinya yang
pada perkembangan berikutnya melahir-kan aliran Maturidiyah:
Ketidak puasan terhadap konsep teologi Mu’tazilah yang terlalu berlebihan dalam
memberikan otoritas pada akal. Hal ini dapat dilihat dari beberapa judul
tulisannya yang secara eksplisit menggambarkan penolakannya terhadap Mu’tazilah, seperti Kitab
Radd Awa’il al-Adillah
li al-Ka’bi,
Kitab Radd Tahdhib al-Jadal li al-Ka’bi dan Kitab Bayan Wahm al-Mu’tazil. Dan
pada saat yang sama al-Maturidi juga tidak puas atas konsep teologi ulama salaf
yang mengabaikan penggunaan akal.
Kekhawatiran
atas meluasnya ajaran Syi’ah
terutama aliran Qaramithah yang dengan keras menentang ulama-ulama salaf.
Khusus di wilayah Asia Tengah aliran ini banyak dipengaruhi oleh paham
Mazdakism, sebuah aliran komunis yang dicetuskan oleh Mazdak bin Bambadh
seorang reformis militan pada abad ke-5 M pada masa kekuasaan Sasania . Ajaran
aliran ini terkait dengan Manichaeism sebuah ajaran yang merupakan
percampuran antara ajaran Kristen dengan Zoroaster
dan ajaran-ajaran Budha. Kitab al-Radd „ala Qaramitah yang ditulis oleh
al-Maturidi merupakan suatu indikasi akan kekhawatirannya atas pengaruh ajaran
ini pada masyarakat. Terdorong oleh kedua faktor tersebut, al-Maturidi kemudian
bangkit mengembangkan metode sintesis al-Naql dan al-aql dalam
pemikiran kalam, jalan tengah antara aliran rasional ala Mu’tazilah dan aliran tradisional ala Hambali.[1]
1. Golongan-golongan aliran Maturidiyah.
a.
Golongan samarkand
Yang menjadi golongan
ini adalah pengikut-pengikut Maturidiyah sendiri. Golongan ini cenderung kearah
paham Mu’tazilah, mengenai sifat-sifat Tuhan. Menurut Maturidi, Tuhan mempunyai
sifat-sifat. Tuhan mengetahui bukan dengan zat-Nya, melainkan dengan
pengetahuanNya. Begitu juga Tuhan berkuasa bukan dengan zatNya.
Maturidi menolak paham-paham Mu’tazilah, antara lain
dalam soal:
1)
Tidak sepaham mengenai pendapat Mu’tazilah yang
mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
2)
Al salah wa al Aslah.
3)
Paham posisi menengah kaum Mu’tazilah.
Bagi Maturidiyah
Samarkand, iman tidaklah cukup dengan tashdiq, tetapi harus dengan ma’rifah
pula. Tidak akan ada tashdiq kecuali setelah ada ma’rifah. Jadi, ma’rifah
menimbulkan tashdiq.
Iman versi Maturidiyah
Samarkand adalah mengetahui Tuhan dalam ketuhananNya. Ma’rifah adalah
mengetahui Tuhan dengan segala sifatNya dan Tauhid adalah mengetahui Tuhan
dalam KeesaanNya. Qadir adalah mengetahui Tuhan dalam kekuasanNya.
Golongan ini tidak
mendapat kesulitan dalam memecahkan persoalan keadilan. Baginya, perbuatan
manusia itu dikendaki oleh manusia sendiri dan dia dihukum atas perbuatan yang
dilakukannya atas dasar kebebasan yang diberikan Tuhan kepadanya. Tuhan hanya
membalas perbuatan baik dengan pahala dan membalas perbuatan jahat dengan siksa.
b.
Golongan bukhara
Golongan Bukhara di
pimpin oleh Abu al-Yusr Muhammad Al-bazdawi. Yang di maksud golongan Bukhara
adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran Maturidiyah, yang mempunyai
pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Asy’ari.
Namun, walaupun sebagai
aliran Maturidiyah, Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan Maturidiyah.
Ajaran-ajaran teologinya banyak di anut oleh sebagian umat Islam yang bermazhab
hanafi.
Golongan bukhara berkeyakinan bahwa akal tidak dapat
mengetahui kewajiban-kewajiban karena akal hanya mampu mengetahui sebab
kewajiban Tuhan.[2]
2. Ciri-ciri golongan Maturidiyah
Pegangan Maturidiyah berusulkan kepada beberapa
hal :
a. Mengutamakan akal dan kecerdasannya dalam hal
aqidah (tauhid) dan sifat Allah swt
b. Mempercayai bahwa perkara awal yang wajib
kepada mukallaf adalah berhujah
c. Mengikuti manhaj ilmu kalam dan filsafat dalam
mengisbatkan pembuat (pencipta) berdalilkan kebaharuan alam atau benda
d. Mengamalkan takwil berdasarkan akal atau tafwid
pada sifat Allah dengan pemahaman yang berseberangan dengan ulama salaf
e. Mengisbatkan sifat Allah dengan menambahkan “
Al-takwin” sehingga menjadi delapan yaitu satu lebih banyak dari asya’irah yang
hanya memiliki tujuh yaitu “Ilm, Iradah, hayah, qudrat, as-sama, al-basar,
al-kalam dan ditambah satu oleh mereka iaitu “al-takwin”.
f. Menyatakan sifat kalam Allah sebagai azali
tidak tertakluk kepada kehendak Allah dan kalam Allah dengan Musa dipercaya
oleh mereka sebagai kalam yang berdasarkan huruf yang merupakan makhluk seperti
pemahaman muktazilah.
g. Mengingkari ulu pada Allah dan istiwa pada
arasy
h. Iman di sisi mereka hanyalah tasdiq
(membenarkan) dan tidak memasukkan amal sebagai salah satu dari hal iman.[3]
Sebagaimana
tokoh-tokoh paham yang lain, al-Maturidi mempunyai konsep pemikiran yang berisi
pokok-pokok ajarannya sebagai berikut :
3. Pokok-pokok ajaran
Al-Maturidi
a. Kedudukan
akal dan wahyu
Al-Maturidi dalam pemikiran teologinya
mendasarkan kepada al-quran dan akal, hal tersebut sesuai dengan pemikiran
al-Asy’ari namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar daripada yang
diberikan oleh al-Asy’ari. Menurut al-Maturidi mengetahui Tuhan dan
kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui oleh akal, hal tersebut sesuai
dengan ayat-ayat al-quran yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akal
dalam memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan
dan pemikiran yang mendalam tentang makhluki ciptaan-Nya. Orang yang tidak mau
menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti
meninggalkan kewajiban yang diperintahkan oleh ayat-ayat tersebut, namun akal
tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban yang
lainnya.
Penentu baik dan buruknya sesuatu terletak pada
sesuatu itu sendiri, sedang perintah dan larangan syari’ah hanya mengikuti
ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Karena akal tidak selalu
mampu membedakan baik dan buruk tetapi terkadang akal mampu membedakannya, maka
dalam ini wahyu diperlukan untuk dijadikan pembimbing.
Sesuatu yang berkaitan dengan akal al-Maturidi
membagi mebagi pada tiga macam:
1)
Akal
dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
2)
Akal
dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu.
3)
Akal
tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran
wahyu.
Akal dapat mengetahui adanya Tuhan serta baik
dan buruk dan juga dapat mengetahui kewajiban dan larangan dari Tuhan. Iman
dalam pandangan tentang adanya Tuhan menurutnya lebih tashdiq, sebab
akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui yang
diinginkan Tuhan. Dengan
demikian bagi al-Maturidi ( Maturidiyah Samarkand ) peranan wahyu lebih kecil
daripada akal.
b. Perbuatan
manusia
Setiap manusia memiliki kebebasan di dalam
gerak-geriknya. Menurut al-Maturidi perbuatan manusia yang jelek dan buruk sama
sekali terlepas dari kehendak Allah sebab jika
perbuatan baik dan buruk yang dilakukan manusia terikat kepada Allah,
maka manusia didalam berbuat kejahatan melibatkan campur tangan Allah juga,
sehingga apabila manusia berbuat kejahatan atau kejelekan sudah merupakan
kehendak Allah, maka Allah sudah menganiaya makhluk-Nya. Hal tersebut
berdasarkan firman Allah QS. Hud (11) : (101).
Artinya:
“
Kami tiak berbuat lalim terhadap mereka, tetapi mereka sendiri yang bebuat lalim terhadap diri mereka”
Aliran ini berpandangan bahwa manusialah yang
mewujudkan semua perbuatan sesuai dengan daya yang ada pada diri manusia,
pemakaian daya yang diciptakan bersamaan dengan perbuatan sedangkan perbuatan
Tuhan hanya menciptakan daya dan bagaimana daya itu diaktualisasikan, itu
merupakan perbuatan manusia. Kehendak daya manusia dalam arti sebenarnya
bukan dalam arti kiasan
c.
Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Perbuatan manusia dan segala sesuatu
dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan akan tetapi
bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang serta
sekehendak-Nya semata, karena dalam hal ini qudrat Tuhan tidak
sewenang-wenang ( absolut ) tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung
sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
Kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh keadilan
Tuhan yang mengandung arti segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu
untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap
manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak akan memberi beban kepada manusia
yang terlalu berat, dan tidak sewenang-wenang memberi hukuman karena Tuhan
tidak berbuat zalim dan Tuhan akan memberi upah atau hukuman kepada
manusia sesuai dengan perbuatannya
d.
Sifat-sifat
Tuhan
Berkaitan dengan sifat Tuhan al-Maturidi
berpendapat bahwa, Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sifat sama’, bashar
dll.dengan pengertian bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensinya dan
bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama)
dzat tanpa terpisah, Dia menetapkan sifat Allah tidak harus membawanya kepada
pengertian anthromorphisme (Tuhan bersifat immateri, tidaklah dapat
dikatakan bhawa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani)
Terhadap ayat-ayat yang mengandung sifat-sifat
seperti bahwa Allah mempunyai wajah, tangan, mata dan lainnya, al-Maturidi
berdiri pada posisi penta’wil dan berjalan di atas prinsipnya yaitu
membawa ayat-ayat mutasybih (samar, tidak jelas) kepada yang muhkan
( yang jelas pengertiannya ). Sebagai contoh dia menginterpretasikan potongan
ayat dari firman Allah QS Al-A’raf (7) : (54)
Artinya:
“ Kemudian
Dia bersemayam di atas ‘Arsy…”
Dalam menafsirkan ayat tersebut dia menggunakan
makna alternatif, yaitu bahwa Allah menuju ‘Arsy dan menciptakannya
dalam keadaan rata, lurus dan teratur.
e.
Melihat
Tuhan
Firman Allah dalam QS al-Qiyamah ( 75 ) : (22-23)
Artinya:
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu
berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Dalam hal melihat Tuhan al-Maturidi berpendapat
bahwa, Allah dapat dilihat di hari Kiamat, hal tersebut merupakan salah satu
keadaan khusus dari kondisi pada hari Kiamat,yaitu hari perhitungan amal pahala
dan siksa. Sedangkan keadaan itu hanya Allah yang mengetahui bagaimana bentuk
dan sifatnya karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
Membicarakan keadaan yang sebenarnya hari Kiamat itu termasuk sikap yang
melampaui batas.
f.
Kalam
Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam (
sabda ) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (
sabda yang sebenarnya atau makna abstrak ) . al-quran dalam arti kalam yang
tersusun huruf dan kata-kata adalah baharu ( hadis ) sedang kalam nafsi tidak
dapat diketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat dengannya kecuali
dengan suatu perantara. Al-Maturidi berpendapat bahwa al-quran sebagai sabda
Tuhan bukan sifat tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan tidak bersifat kekal,
Dia lebih cocok menggunakan istilah hadis sebagai pengganti makhluk untuk
sebutan al-quran
g.
Pengutusan
Rasul
Menurut al-Maturidi akal tidak selamanya mampu
mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia seperti, mengetahui baik
dan buruk, sehingga akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk
mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Maka dari itu pengutusan Rasul sangat
diperlukan sebagai media informasi karena tanpa mengikuti ajaran wahyu manusia
membebankan sesuatu di luar kemampuannya kepada akal. Al-Bayadi memberikan
keterangan bahwa keadaan akal tidak dapat mengetahui segala apa yang diketahui
manusia tentang Tuhan dan alam gaib, Oleh karena Tuhan menghendaki perbuatan
baik manusia, maka Tuhan wajib mengirim para rasul.
h.
Pelaku dosa
besar
Orang melakukan perbuatan dosa besar menurut
al-Maturidi tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun
ia meninggal sebelum bertobat, hanya saja yang berbuat dosa besar
hukumnya fasik karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan
kepada semua perbuatan manusia sesuai dengan perbuatannya dan yang kekal di
neraka adalah orang-orang yang berbuat dosa syirik. Perbuatan dosa besar
selain syirik bukanlah kafir atau murtad karena menurutnya iman
itu cukup dengan tasdhiq dan iqrar sedangkan perbuatan adalah
merupakan penyempurna iman.
Berkenaan dengan hal tersebut Al-Maturidi
mengatakan bahwa Allah telah menjelaskan dalam firman-Nya QS al-An’am ( 6
) : 160 yang berbunyi:
Artinya:
“Barang siapa yang membawa sesuatu amal yang
baik, akan mendapat ganjaran sepuluh ganda, Barang siapa yang membawa sesuatu
amal yang jelek, maka balasannya hanya sepadan, dengan tidak diperlakukan
secara lalim.
i.
Kebangkitan
di hari kiamat
Tentang kebangkitan di hari Kiamat al-Maturidi
meyakini adanya hal tersebut,dimana jasad manusia dibangkitkan kembali. Hal
tersebut al-Maturidi dengan alasan firman Allah QS al-Haj ( 22 ) : (7) yang
berbunyi :
Artinya:
“Dan
bahwa kiamat pasti bakal datang, dan bahwa Allah akan membangkitkan penghuni
kubur’
j. Mengenai
Iman
Penyempurnaan iman seseorang sebagai
pelengkapnya adalah pernyataan lisan dan amal perbuatan. Karena iman adalah
kepercayaan dalam hati, seperti contoh orang yang percaya dan menyakini
ke-Esaan Allah dan percaya kepada Rasul-Nya maka dia sudah digolongkan kepada
orang mukmin. Iman mestilah lebih dari tashdiq yaitu ma’rifah
dan’amal karena bagi mereka akal dapat sampai kepada kewajiban
mengetahui Tuhan. Pandangan tersebut didasarkan pada dalil naqli yang
menjelaskan bahwa Nabi Imbrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti
dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan tersebut menurut
al-Maturidi tidaklah berarti Ibrahim belum beriman tetapi Ibrahim mengharapakan
imannya yang sudah dimiliki meningkat menjadi iman hasil ma’rifat.
k. Perbuatan
Tuhan
Dalam hal perbuatan Tuhan al-Maturidi
berpendapat bahwa, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali
semuanya kehendak Tuhan dan tidak ada yang memaksa atau membatasai
kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh
kehendaknya sendiri. Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari kehendak- Nya.
Pendapat al-Maturidi yang berkenaan dengan
perbuatan Tuhan bahwa Allah Maha Suci dari berbuat secara main-main, segala
perbuatan-Nya senantiasa sesuai dengan kebijaksanaan-Nya karena Dia Maha
Bijaksana serta Maha Mengetahui.[4]
B. Tokoh Maturidiyah ( Abu
Mansur al- Maturidi 333 H = 944 M )
Nama lengkap
al-Maturidi adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-Hanafi
al-Maturidi al-Samarqandi. Beliau dilahirkan di Maturid, Samarqand, salah satu
kota besar di Asia Tengah. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti.
Diduga beliau lahir sekitar tahun 238/853, berdasarkan keterangan bahwa beliau
pernah berguru pada Muhammad ibn Muqatil al-Razi, yang wafat pada tahun
248/862. Atas asumsi ini, berarti al-Maturidi lahir pada masa pemerintahan
al-Mutawakkil salah seorang Khalifah Abbasiah (232-247/847-861).
Al-Maturidi menerima pendidikan yang cukup baik dalam berbagai ilmu
pengetahuan keislaman di bawah asuhan empat ulama terkemuka pada masa itu,
yaitu: Syaikh Abu Bakar Ahmad ibn Ishaq, Abu Nashr Ahmad ibn al-„Abbas ibn
al-Husain al-Ayadi al-Ansari al-Faqih al-Samarqandi, Nusair ibn Yahya al-Balkhi
(w.268/881), dan Muhammad ibn Muqatil al-Razi (w.248/862). Mereka adalah
murid-murid Abu Hanifah (w.150/767) .
Ada beberapa karya tulis yang dihasilkan oleh al-Maturidi meliputi: Tafsir,
Kalam dan Ushul, diantaranya: Kitab Ta’wilaat al-Qur‟an, Kitab
al-Jadal fiy Ushl al-Fiqh, Kitab al-Ma’akhiz al-Shara’I’fiy al-Fiqh,
al-Ma’akhidz al-Shara’I’ fiy Ushul al-Fiqh, Kitab al-Ushul, Kitab al-Bayan wahm
al-Mu’tazilah, Kitab al-Radd, ala al-Qaramithah, Kitab Radd Awa’il al-Adillah
li al-Ka’bi, Kitab Radd Tahab al-Jadal li al-Ka’bi, Rad Kitab al-Imamah li Ba’in
al-Rawafid, Rad al-Ushul al-Khamzah li Abiy Muhammad al-Bahiliy, Rad wa’ad
al-Fussaq li al-Ka’bi. Namun, sayang sekali karya-karya ini tak satupun
yang dapat dipublikasikan, belum dicetak dan masih dalam bentuk makhtutat.
Beberapa ulama terkemuka yang menjadi pengikut al-Maturidi, antara lain adalah:
Abu al-Qasim al-Samarqandi (w.340/951) al-Bazdawi (w.492/1099), „Umar al-Nasafi
(w.537/1142), al-Sabuni (w.580/1184), Ibn al-Humam (w.861/1457). Dalam lapangan
Fiqh, al-Maturidi mengikuti mazhab Hanafi, dan beliau termasuk ulama Hanafiyah
yang memiliki andil besar di bidang fikih melalui beberapa karya tulisnya,
seperti al-Ma’akhiz al-Shari’ah dan Kitab al-Jadal yang dianggap
otoritatif di bidang ini. Demikian beberapa keterangan tentang kehidupan
al-Maturidi. Tak ada catatan mengenai latar belakang keluarganya. Bahkan
riwayat hidup beliau sangat jarang ditemukan dalam buku-buku klasik, sehingga
ada anggapan bahwa al-Maturidi luput dari perhatian para penulis zaman klasik.
Namun yang pasti, para sejarawan sepakat bahwa beliau wafat di Samarqand pada
tahun 333/944.[5]
C. Kondisi Masyarakat Pada masa al-Maturidi dan Setelah Wafatnya
1. Kondisi masyarakat pada masa al-Maturidi
Pada abad ke-3 dan ke-4 (abad ke-9 dan ke-10),
saat di mana al-Maturidi hidup, kondisi politik dalam dunia Islam yang berpusat
di Bagdad, tengah mengalami desintegrasi, terutama sejak masa Kekhalifahan
al-Ma‟mum (198-218/813-833). Hal ini kemudian mengakibatkan lahirnya
dinasti-dinasti kecil di wilayah kekuasaan Abbasyah. Daerah Asia Tengah juga
tidak terlepas dari kondisi ini. Pada awal abad ke-3/9 di Khurasan berdiri
dinasti Tahiriyah (205-259/827-873). Setelah itu digantikan oleh dinasti
Samaniyah (261-389/874-999) yang berpusat di Bukhara, kekuasaannya meliputi
Khurasan dan Transoxiana. Di bawah pemerintahan dinasti inilah al-Maturidi
menghabiskan sebagian besar dari umurnya.
Kondisi politik di wilayah kekuasaan Samaniyah
cukup stabil, dan kebebasan berfikir cukup terjamin, sehingga sangat kondusif
bagi perkembangan ilmu pengetahuan juga dikenal sebagai pusat kebudayaan dan
ilmu pengetahuan Islam yang penting di wilayah ini. Penduduk yang berdiam di
Asia Tengah terdiri dari orang-orang Iran, Turki dan Arab.
Mayoritas muslim mengikuti mazhab Hanafi di
samping juga ada beberapa pengikut Syafi‟i. Di daerah Khurasan, terdapat aliran
Khawarij di Sajistan dan Mu‟tazilah di Naisa.Aliran Syi‟ah juga terdapat di
daerah ini. Di samping agama Islam, di daerah ini juga terdapat orang-orang
Kristen, Yahudi dan Majuzi yang memang telah ada sebelum datangnya Islam ke
wilayah Asia Tengah.
2. Kondisi masyarakat setelah wafatnya al-Maturidi
Al-Maturidi, disamping
meninggalkan beberapa karya tulis yang memuat pemikiran-pemikiran teologinya,
beliau juga memiliki murid-murid yang pada perkembangan berikutnya sangat
berperan dalam melestarikan ajaran-ajarannya. Empat orang muridnya yang
terkemuka adalah: Abd al-Hakim al-Samarqandi (w.340/951), Abu al-Hasan Ali ibn
Said al-Rastafgani (w.350/961), Abu Muhammad Abd al-Karim ibn Musa al-Bazdawi
(w.390/1001), dan Abu al-Laith al-Bukhari.
Abd al-Hakim al-Samarqandi
menulis buku yang berjudul al-Sawad al-A‟zam yang dianggap sebagai karya tertua
di bidang teologi dari aliran Maturidiyah. Tulisannya yang lain adalah: Aqidah
al-Imam dan Syarh al-Fiqh al-Akbar. Sedangkan Abu al-Hasan Ali ibn Said
al-Rastafgani menulis: Kitab al-Irsyad al-Muhtadiy, Namun, tulisan yang lebih lengkap tentang pemikiran teologi al-Maturidi
baru dilakukan setelah abad ke-5/11 oleh Fakhr al-Islam „Ali ibn Muhammad ibn
Abd al-Karim al-Bazdawiy dengan karyanya Ushul al-Bazdawiy. Hal ini kemudian
diikuti oleh para tokoh-tokoh Maturidiyah berikutnya.
Salah seorang tokoh
Maturidiyah yang hidup pada abad ke-5/11 adalah Abu al-Yusr Muhammad ibn
Muhammad ibn Abd al-Karim al-Bazdawiy, lahir pada tahun 421 H dan wafat di
Bukhara tahun 493/1099. Beliau menerima pendidikan dari ayahnya, kakeknya
sendiri adalah murid dari al-Maturidi. Hal yang menarik dari tokoh ini adalah
pandangan-pandangan teologinya yang dalam beberapa hal lebih dekat pada al-Asy’ari
dari pada al-Maturidi. Sehingga kemudian dikenal ada dua golongan dalam aliran
Maturidiyah: golongan Samarqand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri,
dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Golongan Samarqand
lebih dekat pada Mu’tazilah, sedangkan golongan Bukhara lebih dekat pada
pendapat-pendapat al-Asy’ari.
Perbedaan pandangan kedua
golongan tersebut, antara lain: menurut Maturidiyah Samarqand percaya kepada
Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya sebelum adanya wahyu adalah wajib. Pendapat
ini sama dengan pendapat Mu’tazilah. Sedangkan bagi Maturidiyah Bukhara akal
hanya dapat sampai pada percaya kepada Tuhan, tapi tidak dapat mengetahui
wajibnya hal itu sebelum adanya wahyu, pendapat ini sama dengan pendapat Asy’ariyah.
Adanya kesamaan pandangan antara al-Bazdawi dengan al-Asy’ari menurut hemat
penulis, adalah karena al-Bazdawi, di samping mendalami ajaran al-Maturidi,
beliau juga menekuni pemikiran-pemikiran al-Asy’ari, sebagaimana pengakuan
beliau sendiri “Saya telah mempelajari sebagian besar kitab-kitab dan
hadis-hadisnya (al-Asy’ari)”. Sehingga sedikit banyak al-Bazdawi dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran al-Asy’ari.
Namun, adanya persamaan antara
al-Bazdawi dengan al-Asy’ari tidaklah mengurangi kredibilitasnya sebagai
seorang pengikut Maturidiyah, karena dalam banyak hal beliau tetap sepaham
dengan al-Maturidi sedangkan perbedaan yang terdapat diantara mereka, bukanlah
hal yang prinsipil mengemukakan komentarnya terhadap Kitab al-Tauhid karya
al-Maturidi yang menunjukkan betapa beliau masih seorang Maturidiyah,
kritikannya pada karya al-Maturidi tersebut lebih diarahkan pada metode
penulisannya bukan pada materinya. Pada perkembangan berikutnya, muncul seorang
murid al-Bazdawi, Najm al-Din Muhammad al-Nasafi, lahir di Nasaf tahun 460/1068
dan wafat di Samarqand tahun 537/1142. Beliau termasuk ulama besar pada
masanya, tulisannya yang terkenal adalah al-„Aqa‟id al-Nasafiyah yang dari segi
metode dan materinya sangat jelas dipengaruhi oleh pemikiran al-Maturidi.
Tokoh Maturidiyah yang juga
dikenal dengan al-Nasafi adalah “Abd al-Mu‟in Maymun ibn Muhammad al-Makhuliy
al-Nasafi (w.508/1114). Karyanya antara lain Tabsirah al-Adillah, Tamhid li
Qawa‟id al-Tauhid, dan Bahr al-Kalam. Selanjutnya muncul, Ala al-Din Abu Bakr
Muhammad al-Samarqandi (w.540/1145), Nur al-Din Muhammad al-Shabuni
(w.580/1185), Hafizh al-Din Abu al-Barakat , Abdullah al-Nasafi (w.710/1310),
„Ubaid Allah shadr al-Shari’ah al-Mahbubi (w.747-1348), Ala al-Din „Abd al-Aziz
al-Bukhari (w.730/1329), Ali al-Sayyid al-Sharif al-Jurjani (w.816/1413), Kamal
al-Din Muhammad ibn Humamah (w.861/1455), Ahmad ibn Sulayman al-Rumi Shams
al-Din Kamal Pasa (w.940/1533), Ali ibn Sulthan Muhammad al-Makki Mula, Ali
al-Qari (w.1014), Kamal al-Din Ahmad al-Bayadi (w.1083/1672), dan Hasan Kafia
Pruscak Basnawi (w.1025/1616). Mereka itulah yang berjasa besar dalam
menyebarkan dan mengembangkan paham.[6]
3. Maturidiyah dari masa ke
masa
Bagaimana perkembangan
ajaran Maturidiyah? Apakah mengalami pergeseran dari paham al-Maturidi sendiri?
Ayyub Ali, dalam Aqidah al-Islam wa al-Imam al-Maturidi, menyatakan bahwa
berbeda dengan orang-orang Asy’ariyah setelah wafatnya al-Asy’ari, orang-orang
Maturidiyah tidak menambahkan sesuatu yang substansial pada pemikiran teologi
al-Maturidi. Hal ini, lanjut beliau, disebabkan :
a. Orang-orang Maturidiyah
lebih banyak berkonsentrasi pada masalah fiqh.
b. Dasar pemikiran teologi
Maturidiyah-Hanafiyah telah dibuat oleh Abu Hanafiah, sedangkan al-Maturidi
hanya menyempurnakannya, berbeda dengan al-Asy’ari yang baru meletakkan dasar
pemikiran teologi Asy’ariyah yang kemudian disempurnakan oleh para pengikutnya.
c. Asy’ariyah mendapat banyak
tantangan dari Hambaliyah dan Mu’tazilah, hal ini memaksa orang-orang Asy’ariyah
untuk terus melakukan pengkajian lebih dalam untuk mempertahankan ajaran
mereka. Berbeda dengan uraian Ayyub Ali tersebut, mengemukakan alasan bahwa
perkembangan pemikiran Asy’ariyah terjadi karena pemikiran teologi al-Asy’ari
tidak menggariskan suatu sistem metodologi, seperti apa yang dilakukan oleh
al-Maturidi. Dengan kata lain, al-Asy’ari cenderung mengajak manusia untuk
percaya, bukan “bagaimana mempercayai”, jadi
lebih bersifat “mendoktrin” dari pada “mendidik”. Pengaruh aliran Maturidiyah
dalam dunia Islam tidak sebesar pengaruh aliran Asy’ariyah, yang menurut
Nurcholish Madjid paham teologi umat Islam sedunia. Hal ini antara lain,
menurut asumsi penulis, karena Maturidiyah berkembang di ujung timur dunia
Islam, sehingga secara geografis Asy‟ariyah lebih beruntung karena berada pada
bagian pertengahan dan Maturidiyah tidak memiliki tokoh sekaliber al-Gazali,
atau dukungan lembaga pendidikan seperti Nizamiyah.
Aliran Maturidiyah, seperti
telah dikemukakan sebelumnya banyak dianut oleh umat Islam yang memakai mazhab
Hanafi. Mazhab Hanafi sendiri banyak dianut oleh umat Islam di kawasan Turki
baik Barat maupun Asia Tengah, dan di anak benua India. Juga terdapat di Irak
dan negeri-negeri non-Arab, bercampur dengan mazhab Syafi‟i. Menurut Ibnu
Khaldun. Mazhab Hanafi pada masa ini dianut oleh umat Islam di Iraq, India,
Cina, daerah seberang sungai Euprat dan Tigris, serta negeri-negeri non-Arab
seluruhnya, bersaing dengan mazhab Syafi‟i. Namun, tentu saja hal ini tidak
cukup membuktikan apakah semua pengikut mazhab Hanafi juga, secara otomatis,
pengikut aliran Maturidiyah. Ternyata, ulama-ulama Irak dan sekitarnya lebih
menaruh perhatian pada pemikiran Abu Hanifah.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas, berikut dikemukakan beberapa kesimpulan, yaitu:
1.
Lahirnya aliran
Maturidiyah di latar belakangi oleh: rasa tidak puas al-Maturidi terhadap
metode Kalam kaum rasionalis, di satu sisi dan kaum tradisionalis di sisi lain
dan kekhawatiran atas meluasnya paham
Syiah Qaramithah yang banyak dipengaruhi oleh aliran Mazdakism dan
Manichaenism.
2.
Al-Maturidi adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-Hanafi
al-Maturidi al-Samarqandi. Beliau dilahirkan di Maturid, Samarqand, salah satu
kota besar di Asia Tengah. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti.
Diduga beliau lahir sekitar tahun 238/853.
3.
Pemikiran
teologi al-Maturidi tersebar melalui karyanya, dan setelah beliau wafat,
ajaran-ajarannya yang kemudian dikenal sebagai aliran Maturidiyah, disebarkan
melalui murid-murid dan para pengikutnya, dari masa ke masa. Salah seorang
pengikutnya yang terkemuka adalah al-Bazdawi yang dalam pandangan kalamnya
terdapat perbedaan dengan al-Maturidi, sehingga lahirlah istilah golongan
Maturidiyah Bukhara yakni pengikut al-Bazdawi, dan Maturidiyah Samarqand, yakni
pengikut al-Maturidi sendiri.
Aliran
Maturidiyah banyak diikuti oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, terutama di
wilayah Asia Tengah.
Demikian
beberapa kesimpulan dari tulisan sederhana ini, semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad. Muhammad, Tauhid Ilmu kalam, Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Hanafi. Ahmad, Theology Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Harun. Nasution, Teologi Islam, Jakarta: Universitas Indonesia,
2009.
M. Afrizal, Tujuh
Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, Jakarta: Erlangga, 2006.
Madjid.
Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2004.
Madkour.
Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
[1]http://download.portalgaruda.org/article.php?article=153793&val=5919&title=MATURIDIYAH:%20KELAHIRAN%20DAN%20PERKEMBANGANNYA Diakses pada tanggal 20 September jam 20:00 wita.
Diakses Pada Tanggal 01 Oktober
Jam 21:00 Wita.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar