Buku Tamu

PEMIKIRAN MULTIKULTURALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM

by ARIFIN S.Pd.I
BAB I
PENDAHULUAN
                       
A.          Latar Belakang Masalah
          Munculnya gerakan-gerakan politik dan intelektual yang dimotori oleh beranekamacam kelompok seperti kelompok masyarakat adat, kelompok minoritas suku bangsa, kelompok etnis-kultural, kelompok imigran baik yang lama maupun yang baru, kaumfeminis, kelompok gay dan lesbian, dan kelompok pecinta lingkungan (the greens). Kelompok-kelompok ini mewakili praktek, gaya hidup, pandangan dan cara hidup yangberbeda dari, kadang berseberangan dengan, dan dalam sejumlah hal ditentang oleh, kultur yang dominan dalam masyarakat luas. Meskipun di antara kelompok ini ada yang begitu berbeda sehingga sulit untuk berbagi agenda filsafat dan politis yang sama, mereka semua bersatu dalam hal menentang pandangan masyarakat luas yang cenderung menyamaratakan atau menggolong-golongkan karena didasarkan pada keyakinan pokok bahwa hanya ada satu jalan yang benar dan normal untuk memahami dan menstrukturkan wilayah-wilayah kehidupan. Dengan cara mereka sendiri, kelompok-kelompok ini menghendaki agar masyarakat mengenali legitimasi atas perbedaan-perbedaan mereka, khususnya pandangan-pandangan yang dalam kacamata merekabukan pandangan yang remeh temeh atau insidentil namun pandangan yang sungguh-sungguh berangkat dari dan membentuk identitas mereka. Meskipun istilah identitas terkadang menggelembung sedemikian rupa sehingga seolah-olah mencakup hamper segala sesuatu yang memberi ciri pada seorang individu atau kelompok tertentu, para pembela kelompok-kelompok pergerakan ini menggunakan istilah “identitas” untuk mengacu pada karakteristik-karakteristik tertentu yang dipilih atau diwariskan (sudah dibawa sejak lahir) yang menggambarkan mereka sebagai jenis orang atau kelompok yang tertentu dan membentuk bagian utuh dari pemahaman mereka atas jati diri mereka. Kelompok-kelompok pergerakan ini dengan demikian menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan pengakuan identitas dan perbedaan atau, lebih persisnya, perbedaan-perbedaan yang terkait dengan identitas. Meskipun gerakan-gerakan baru ini sering dimasukkan di dalam payung istilah multikulturalisme, namun multikulturalisme pada kenyataannya hanya mengacu pada beberapa saja. Multikulturalisme bukan melulu soal perbedaan dan identitas pada dirinya sendiri namun juga menyangkut hal-ihwal yang tertanam dan ditunjang oleh budaya; yaitu seperangkat kepercayaan dan praktek yang lewatnya sekelompok orang memahami jati diri mereka dan dunia dan mengatur hidup baik individu maupun kolektif. Tidak seperti perbedaan yang datang dari pilihan-pilihan yang bersifat individual, perbedaan-perbedaan yang berakar pada budaya membawa ukuran otoritas tertentu dan dipolakan, distrukturkan berkat ketertancapannya dalam sebuah sistem makna dan signifikasi(pemberian makna pada tanda dan benda tertentu) yang diyakini bersama dan punya nilaihistoris. Kejelasan konsep antara dua jenis perbedaan ini menggunakan istilah keragaman (diversity) untuk menyebut perbedaan yang berakar pada budaya. Dengan demikian, multikulturalisme adalah tentang keragaman budaya atau perbedaan-perbedaan yang berakar pada budaya. Karena teramat mungkin berbicara tentang macam-macam perbedaan yang tidak harus diasalkan pada perbedaan yang mengakarpada budaya, dan juga sebaliknya, maka tidak semua pejuang politik pengakuan harus bersimpati pada multikulturalisme. Meskipun bagian dari politik pengakuan, multikulturalisme adalah sebuah gerakan yang jelas (distinct) yang mempertahankan posisi yang ambivalen (mendua, atau bernilai lebih dari satu).
B.           Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang tertulis dalam latar belakang, maka penulis dalam hal iniakan merumuskan permasalahan dalam beberapa pertanyaan.
1.      Apa yang dimaksud dengan Multikulturalisme ?
2.      Bagaimana hubungan Multikulturalisme dan Kesederajatan ?
3.      Bagaimana Multikulturalisme ditinjau dari perspektif Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Multikulturalisme
            adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideology yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multicultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah “monokultural” juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru. Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa Negara lainnya. Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideology yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan danmendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinankeagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budayakomuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.[1]
B.     Multikulturalisme Dan Kesederajatan
            Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah para pendukung kebudayaan, baik secara individual maupun secara kelompok, dan terutama ditujukan terhadap golongan sosial askriptif yaitu suku bangsa (dan ras), gender, dan umur. Ideologi multikulturalisme ini secara bergandengan tangan saling mendukung dengan proses-proses demokratisasi, yang pada dasarnya adalah kesederajatan pelaku secara individual (HAM) dalam berhadapan dengan kekuasaan dan komuniti atau masyarakat setempat. Sehingga upaya penyebarluasan dan pemantapan serta penerapan ideologi multikulturalisme dalam masyarakat yang majemuk, mau tidak mau harus bergandengan tangan dengan upaya penyebaran dan pemantapan ideologi demokrasidan kebangsaan atau kewarganegaraan dalam porsi yang seimbang. Sehingga setiap orang nantinya, akan mempunyai kesadaran tanggung jawab sebagai orang warganegara, sebagai warga suku bangsa dan kebudayaannya, tergolong sebagai gender tertentu, dan tergolong sebagai umur tertentu yang tidak akan berlaku sewenang-wenang terhadap orang atau kelompok yang tergolong lain dari dirinya sendiri danakan mampu untuk secara logika menolak diskriminasi dan perlakuan sewenang-wenang oleh kelompok atau masyarakat yang dominan. Mengapa perjuangan anti-diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas dilakukan melalui perjuangan menuju masyarakat multikultural? Karena perjuangan anti-diskriminasi dan perjuangan hak-hak hidup dalam kesederajatan dari minoritas adalah perjuangan politik, dan perjuangan politik adalah perjuangan kekuatan. Perjuangan kekuatan yang akan memberikan kekuatan kepada kelompok-kelompok minoritas sehingga hak-hakhidup untuk berbeda dapat dipertahankan dan tidak tidak didiskriminasi karena digolongkan sebagai sederajad dari mereka yang semula menganggap mereka sebagai dominan. Perjuangan politik seperti ini menuntut adanya landasan logika yang masuk akal di samping kekuatan nyata yang harus digunakan dalam penerapannya. Logikayang masuk akal tersebut ada dalam multikulturalisme dan dalam demokrasi.
C.    Multikulturalisme Dalam Perspektif Islam
            Pembumian wacana multikulturalisme pada ranah pendidikan formal (sekolah) dewasa ini semakin menggeliat. Maraknya gagasan multikulturalisme disertai dengan penyebaran isu pendahuluan: banyaknya peristiwa bentrokan dan konflik horizontal ditengah masyarakat. Berbagai pihak kemudian menyuarakan gagasan ini lebih keras dan diimplementasikan lebih dini dalam kurikulum pendidikan.[2] Lebih jauh lagi, kini, paham multikulturalisme mulai diintegrasikan pada ranah pendidikan agama. Alasannya, seperti dikemukakan dalam buku PendidikanMultikultural; Konsep dan Aplikasi, Pendidikan Agama Islam yang ada saat inidianggap sudah tidak relevan dan telah gagal menciptakan harmoni kehidupan danbahkan menjadi pemicu konflik di tengah masyarakat plural. Kementerian Agama RIpun telah menerbitkan sebuah buku berjudul “Panduan Integrasi Nilai Multikulturdalam Pendidikan Agama Islam pada SMA dan SMK” , selanjutnya disingkatPanduan Integrasi. (Diterbitkan dengan kerjasama dengan Asosiasi Guru PendidikanAgama Islam Indonesia (AGPAII), TIFA Foundation dan Yayasan Rahima).Jika ditelisik lebih jauh, penanaman paham multikulturalisme, apalagi dalamranah Pendidikan Agama Islam, sebenarnya belum didasari oleh kajian dan penelitian yang mendalam. Sebab, dalam perspektif Islam, paham multikulturalisme itu perlu ditelaah secara kritis. Berikut ini sejumlah catatan kritis atas multikulturalisme: Pertama, persoalan makna istilah. Multikulturalisme memiliki rentang definisi yang beragam mulai dari sekedar pengakuan terhadap realitas multikultural masyarakat dunia saat ini; upaya untuk menerima dan menghormati realitas itu; hingga pada pengertian yang merefleksikan relativisme kebenaran dan relativisme agama. Kecenderungan dominan dalam beberapa buku, semisal buku berjudul PendidikanAgama Berwawasan Multikultural, istilah ini merefleksikan relativisme kebenaran danagama. Ini karena, multikulturalisme hakikatnya merupakan kelanjutan dari pahaminklusivisme dan pluralisme agama. Jika pada inklusivisme, integritas agama tertentu masih dipertahankan sekalipun ada pengakuan kebenaran pada yang lain, maka multikulturalisme dalam makna ini bergerak lebih jauh lagi: memungkinkan berbagi agama dengan yang lain. Dalam ideini terkandung muatan sinkretisme agama. Bahkan, bukan tidak mungkin, memunculkan agama baru bernama multikulturalisme. Kedua, kekeliruan memahami agama Islam. Konsep multikulturalisme mendudukan Islam sebagai agama yang sama dan sederajat dengan agama yang lain. Padahal Islam sebagai agama (ad-din) berbeda dengan agama-agama yang ada didunia ini. Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang sampai sekarang orisinalitasnya terjaga. Dalam istilah Prof. Naquib al-Attas: “Islam is the only genuinerevealed religion.” (al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam) Islam bukan agama budaya dan bukan agama yang dihasilkan oleh proses evolusi budaya. Demikian pula, sistem nilai dan sistem pemikiran Islam bukan semata berasal dari unsur-unsur budaya dan folosofis yang dibantu sains, tetapi berasal darisumbernya yang asli yaitu wahyu, dikonfirmasi oleh agama serta didukung oleh akal dan intuisi. Islam sebagai agama final dan matang dari sejak diturunkannya, tidakmengenal adanya proses penyempurnaan. Islam berbeda dengan agama-agama lainnya-terutama agama bumi- di dunia ini yang lahir dari sebuah evolusi. Sehingga, ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh Allah dan Rasul-Nya adalah ketentuan final sebagai syari‟at hidup manusia menjalani penghambaan dan pengabdiannya kepada sang Khaliq. Sebagaimana tercantum dalam surat Al-Maidah (5) ayat 3. Sementara agama lain, hanyalah berupa pengalaman spiritual seseorang atau sekelompok orang dalam mencari sisi-sisi transenden untuk melengkapi kekosongan nilai spiritual yang ada dalam dirinya. Islam juga bukan agama sejarah (historical religion). Islam adalah agama yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang terdapat dalam Islam berlaku sepanjang masa. Islam memilikipandangan-alam mutlaknya sendiri yang berbeda dengan agama lain. Pandangan-alam (worldview) ini meliputi persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta, danlain sebagainya. Ketiga, kekeliruan memahami konsep-konsep penting dalam agama.Pemahaman keliru ini berimbas pada sikap yang tidak tepat dalam mengatasi berbagai problema di masyarakat terkait kehidupan beragama. Konsep-konsep yang dipahami keliru itu seperti konsep Tuhan, konsep Wahyu (al-Qur‟an dan al-Hadits), konsep truthclaim (klaim kebenaran agama), toleransi, agama sama dengan budaya, kalimatunsawa, dakwah Islamiyah, dan lain sebagainya.Sebagai contoh, dalam pemahaman multikulturalisme, klaim kebenaran (truthclaim) tidak boleh lagi digaungkan. Mereka beralasan bahwa klaim kebenaranmerupakan puncak dari semangat egosentrisme, etnosentrisme, dan chauvinisme. Klaim kebenaran bagi paham ini dianggap sebagai kelainan jiwa yang disebutnarsisme (sikap membanggakan dan mengunggulkan diri). Sikap klaim kebenaran inilah yang menurut kalangan penggagas pendidikan multikulturalisme ini yang akan menghasilkan friksi di masyarakat dan menimbulkan konflik.[3] Padahal dalam Islam, mengakui dan meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan mempersaksikan keyakinan tersebut dihadapan Allah SWTjuga di hadapan manusia lainnya adalah keniscayaan yang harus dilakukan. Selainsebagai bagian dari deklarasi kemusliman serta kesiapan untuk tunduk dan patuh, persaksian tersebut menjadi media dakwah pada manusia yang lain untuk sama-sama beriman dan berislam. Islam mengajarkan prinsip hidup toleran tanpa harus meniadakan kebenaran prinsip yang dipegang. Toleransi dalam Islam bukan berarti sepakat, setuju, membenarkan ajaran agama lain, melainkan menghormati pemeluk dan ajaran agama lain sesuai proporsinya. Proses saling menghargai dan menghormati ini dilakukan sambil menegakkan prinsip ajaran agama, nilai-nilai agama, dan kewajiban berdakwah dalam bingkai-bingkai yang dianjurkan oleh agama itu sendiri. Keempat, kekeliruan memahami budaya dan kesederajatan. Konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman suku bangsaatau kebudayaan yang menjadi ciri masyarakat majemuk (plural society). Karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.[4] Pemahaman seperti ini mengharuskan masing-masing budaya manusia atau kelompoketnis diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih dominan. Karena semua kebudayaan pada dasarnya mempunyai kearifan tradisional yang berbeda-beda. Kearifan-kearifan (baca: ajaran, nilai-nilai, kandungan, dan lain-lain) tersebut tidak dapat dinilai sebagai positif-negatif dan tidak dapat dijelaskan melalui kacamata kebudayaan yang lain. Hal ini disebabkan oleh sudut pandang dan akar baik-buruk dari setiap kebudayaan mempunyai volume yang berbeda pula.Budaya versi kalangan ini tidak terbatas dalam bidang seni, tetapi mencakup segala hal yang menjadi proses dan produk sebuah komunitas, meliputi agama, ideologi, sistem hukum, sistem pembangunan, dan sebagainya. Kalanganmultikulturalis memaknai budaya secara luas, bahkan termasuk agama di dalamnya. Maka, agama Islam, Kristen, hindu, budha, jawa, sunda, batak, kapitalisme, sosialisme, dan berbagai produk komunitas lainnya adalah budaya dan posisinya sejajar dan sederajat. Islam tidak dapat menyalahkan agama lain, tidak dapat menilai baik atau buruk agama lain karena posisinya sama. Begitu pula, Islam tidak boleh mengklaim sebagai satu-satunya agama yang benar disisi Tuhan karena hal demikian akan mencenderai semangat toleransi dalam bingkai multikulturalisme.Paham ini tidak membedakan antara budaya baik dan budaya buruk karena semuanya dalam bingkai kesederajatan. Sementara agama Islam tidaklah demikian. Islam memandang tinggi budaya baik dan memandang rendah budaya buruk. Jadi dalam Islam, persoalan budaya pun tetap dibingkai oleh nilai-nilai Ilahi yang sifatnya mutlak dan harus jadi pedoman untuk menakar kualitas budaya individu maupun kelompok. Bahaya lebih jauh adalah persepsi bahwa budaya bukanlah suatu kemutlakan yang harus dipertahankan, termasuk agama di dalamnya. Budaya dipahami sebagai sebuah gerak (move) kreatifitas masyarakat yang dibangun oleh gerakan prinsip-prinsip yang berbeda yang kemudian membentuk sebuah kesepakatan bersama tentangnilai, pandangan, dan sikap masyarakat (reinventing). Dalam arti, budaya tumbuh danberkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat itu sendiri yang tentunya dipengaruhi oleh faktor ekstern yang mengelilingi kehidupannya.[5] Jika pemahaman ini diaplikasikan, maka yang terjadi adalah agama dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya bukanlah sesuatu yang mutlak dan final. Nilai-nilai atau kandungannya akan dan harus selalu berevolusi seiring sejalan dengan evolusi masyarakat yang berbeda dari waktu ke waktu. Jika demikian yang terjadi, sendi-sendi ajaran agama khususnya Islam lambat laun akan hilang dan punah. Terganti oleh nilai nilai kreatif buatan manusia yang justeru akan membahayakan eksistensi kemanusiaannya itu sendiri dan eksistensi kehidupan secara keseluruhan. Kelima, agenda buruk globalisasi. Pendidikan multikulturalisme dalam ranahagama patut diduga merupakan agen taktis untuk memuluskan penjajahan nilai-nilai sekular-liberal di era globalisasi. Nilai-nilai sekular-liberal dapat mengikis dan menghancurkan pemikiran dan keimanan umat Islam. Globalisasi bukan hanya melahirkan penjajahan ekonomi tetapi juga penjajahan pemikiran, budaya, nilai dan tradisi.Lebih jauh lagi, gagasan multikulturalisme ini dengan tegas menyatakan bahwa negara sekuler-liberal merupakan jawaban atas keberagaman agama seperti yang terdapat di Indonesia. Yang demikian karena menurut mereka negara sekular-liberal posisinya netral dan mampu memberikan equal opportunity kepada keanekaragaman agama. Pendidikan multikulturalisme dalam ranah agama dapat mengikis keyakinan beragama umat Islam yang benar yang bersumber dari al-Qur‟an dan as-Sunnah. Keyakinan tersebut diubah dengan pemahaman keagamaan yang semata-mata rasional, memenuhi dimensi sosiologis dan antropologis manusia semata. Maka, ketika proses ini berhasildijalankan, akan memudahkan kalangan sekular-liberal untuk melanjutkan cengkraman penjajahan peradabannya kepada negeri-negeri Muslim. Jika konsep pendidikan multikulturalisme seperti hasil temuan penulis yang diutarakan di atas, maka pendidikan ini akan sangat berbahaya pagi siswa didikmuslim. Dengan paham semacam ini, peserta didik dijauhkan dari tujuan pendidikanitu sendiri. Pendidikan agama Islam sejatinya adalah upaya sadar dan terencana dalammenyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertaqwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanyakitab suci Al-Qur‟an dan al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran latihan, serta penggunaan pengalaman.[6] Pendidikan agama dalam Islam adalah pendidikan agama yang berbasistauhidullah dilandasi oleh semangat beribadah dan semangat dakwah dalam setiap dimensi kehidupan manusia. Dalam Islam, seluruh perbuatan manusia termasukpendidikan, dibingkai oleh motivasi penyerahan total dirinya sebagai hamba Allah dan khalifatullah. Inilah hakikat pendidikan dalam pandangan alam Islami yang perlu di kejawantahkan dalam dunia pendidikan dewasa ini. Secara konseptual dan fakta sejarah, Tauhid Islam senantiasa sinergi dengan kerukunan. Karena itu – berbeda dengan kondisi di dunia Barat – wacanamultikulturalisme tidak menduduki tempat penting. Maka, seyogyanya, para cendekiawan Muslim tidak mudah hanyut dalam gegap gempita paham-paham baruyang dapat berdampak negatif pada pemahaman Islam yang benar.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Pembumian wacana multikulturalisme pada ranah pendidikan formal (sekolah) dewasa ini semakin menggeliat. Maraknya gagasan multikulturalisme disertai dengan penyebaran isu pendahuluan: banyaknya peristiwa bentrokan dan konflik horizontal ditengah masyarakat. Berbagai pihak kemudian menyuarakan gagasan ini lebih kerasdan diimplementasikan lebih dini dalam kurikulum pendidikan, Jika ditelisik lebihjauh, penanaman paham multikulturalisme – apalagi dalam ranah Pendidikan Agama Islam – sebenarnya belum didasari oleh kajian dan penelitian yang mendalam. Sebab, dalam perspektif Islam, paham multikulturalisme itu perlu ditelaah secara kritis.
B.     Saran-saran
            Berdasar pada rumusan kesimpulan di atas, kelihatan bahwa pembahasan lebih lanjut mengenai isi makalah, masih perlu dikembangkan. Karena itu, disarankan kepada segenap pihak untuk memberikan kontribusi pemikiran yang konstruktif, akurat dan argumentif terhadap masalah yang telah dipaparkan dalam pembahasan ini untuk mendapatkan hasil lebih komprehensif.
            Demikianlah uraian singkat makalah ini, semoga memberi manfaat untuk kita semua, terutama bagi pribadi penyusun dari makalah ini, atas perhatiannya diucapakan terimakasih.
.




DAFTAR PUSTAKA
Naim, Ngainun Dkk. Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008
Mahfudz, Chairul. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2008
Ridiawati, Mujiatun. Jurnal Islam: Multikulturalisme dalam Islam, Bandung:INSANIA, 2008
Ramayulis dan Syamsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan PemikiranPara Tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009



[1] Mujiatun Ridiawati, Jurnal Islam : Multikulturalisme dalam Islam, (Bandung : INSANIA, 2008), h. 3
[2] Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural : Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta :Ar-Ruzz Media, 2008) h. 15
[3] Chairul Mahfudz, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2008), h.94
[4] Chairul Mahfudz, Pendidikan …, h. 95
[5] Chairul Mahfudz, Pendidikan …, h. 205
[6] Ramayulis dan Syamsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Telaah Sistem Pendidikan dan PemikiranPara Tokohnya, (Jakarta : Kalam Mulia, 2009), h. 21

Tidak ada komentar :